Sejarah perbankan
di Indonesia tidak terlepas dari zaman penjajahan
Hindia Belanda. Pada masa itu De javasche Bank, NV didirikan di Batavia pada tanggal 24 Januari 1828 kemudian menyusul Nederlandsche Indische Escompto
Maatschappij, NV pada tahun 1918 sebagai pemegang monopoli pembelian
hasil bumi dalam negeri dan penjualan ke luar negeri serta
terdapat beberapa bank yang memegang peranan penting di Hindia Belanda. Bank-bank
yang ada itu antara lain:
1. De Javasce NV.
2. De Postspaarbank.
3. Hulp en Spaar Bank.
4. De Algemene Volkskrediet Bank.
5. Nederlandsche Handelsmaatschappij (NHM).
6. Nationale Handelsbank (NHB).
7. De Escompto Bank NV.
8. Nederlansch Indische Handelsbank
Di samping
itu, terdapat pula bank-bank milik orang Indonesia dan orang-orang asing
seperti dari Tiongkok, Jepang, dan Eropa.
Bank-bank tersebut antara lain:
1. NV. Nederlandsch Indische Spaar En Deposito Bank
2. Bank Nasional Indonesia.
3. Bank Abuan Saudagar.
4. NV Bank Boemi.
5. The Chartered Bank of India, Australia and China
6. Hongkong & Shanghai Banking Corporation
7. The Yokohama Species Bank.
8. The Matsui Bank.
9. The Bank of China.
10.Batavia Bank.
-
PADA
MASA ORDE BARU
Orde baru datang membawa perubahan dalam bidang perbankan dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 14/1967 tentang Pokok-Pokok Perbankan. Mulai saat itu, sistem perbankan berada dalam kesatuan sistem dan kesatuan pimpinan, yaitu melalui pengawasan dan pembinaan Bank Indonesia. Bank Indonesia dengan dukungan pemerintah, dalam kurun waktu 1971-1972 melaksanakan kebijakan penertiban bank swasta nasional dengan sasaran mengurangi jumlah bank swasta nasional, karena jumlahnya terlalu banyak dan sebagian besar terdiri atas bank-bank kecil yang sangat lemah dalam permodalan dan manajemen. Selain itu, Bank Indonesia juga menyediakan dana yang cukup besar melalui Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) untuk program-program Kredit Investasi Kecil (KIK)/Kredit Modal Kerja Permanen (KMKP), Kredit Investasi (KI), Kredit Mahasiswa Indonesia (KMI), Kredit Koperasi (Kakop), Kredit Profesi Guru (KPG), dan sebagainya. Dengan langkah ini, BI telah mengambil posisi sebagai penyedia dana terbesar dalam pembangunan ekonomi di luar dana APBN.
Industri perbankan Indonesia telah menjadi industri yang hampir seluruh aspek kegiatannya diatur oleh pemerintah dan BI. Regulasi tersebut menyebabkan kurangnya inisiatif perbankan. Tahun 1983 merupakan titik awal BI memberikan kebebasan kepada bank-bank untuk menetapkan suku bunga, baik kredit maupun tabungan dan deposito. Tujuannya adalah untuk membangun sistem perbankan yang sehat, efisien, dan tangguh. Kebijakan selanjutnya merupakan titik balik dari kebijakan pemerintah dalam penertiban perbankan tahun 1971-1972 dengan dikeluarkannya Paket Kebijakan Deregulasi Perbankan 1988 (Pakto 88), yaitu kemudahan pemberian ijin usaha bank baru, ijin pembukaan kantor cabang, dan pendirian Bank Perkreditan Rakyat (BPR).
Pada periode selanjutnya, perbankan nasional mulai menghadapi masalah meningkatnya kredit macet. Hal ini sejalan dengan meningkatnya pemberian kredit oleh perbankan terutama untuk sektor properti. Keadaan ekonomi mulai memanas dan tingkat inflasi mulai bergerak naik.
Ketika krisis moneter 1997 melanda, struktur perbankan Indonesia porak poranda. Pada tanggal 1 November 1997, dikeluarkan kebijakan pemerintah yang melikuidasi 16 bank swasta. Hal ini mengakibatkan kepanikan di masyarakat. Oleh karena itu, Bank Indonesia turun mengatasi keadaan dengan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) atas dasar kebijakan yang ditetapkan pemerintah. Selain itu, berbagai tindakan restrukturisasi dijalankan oleh Bank Indonesia bersama pemerintah.
Orde baru datang membawa perubahan dalam bidang perbankan dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 14/1967 tentang Pokok-Pokok Perbankan. Mulai saat itu, sistem perbankan berada dalam kesatuan sistem dan kesatuan pimpinan, yaitu melalui pengawasan dan pembinaan Bank Indonesia. Bank Indonesia dengan dukungan pemerintah, dalam kurun waktu 1971-1972 melaksanakan kebijakan penertiban bank swasta nasional dengan sasaran mengurangi jumlah bank swasta nasional, karena jumlahnya terlalu banyak dan sebagian besar terdiri atas bank-bank kecil yang sangat lemah dalam permodalan dan manajemen. Selain itu, Bank Indonesia juga menyediakan dana yang cukup besar melalui Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) untuk program-program Kredit Investasi Kecil (KIK)/Kredit Modal Kerja Permanen (KMKP), Kredit Investasi (KI), Kredit Mahasiswa Indonesia (KMI), Kredit Koperasi (Kakop), Kredit Profesi Guru (KPG), dan sebagainya. Dengan langkah ini, BI telah mengambil posisi sebagai penyedia dana terbesar dalam pembangunan ekonomi di luar dana APBN.
Industri perbankan Indonesia telah menjadi industri yang hampir seluruh aspek kegiatannya diatur oleh pemerintah dan BI. Regulasi tersebut menyebabkan kurangnya inisiatif perbankan. Tahun 1983 merupakan titik awal BI memberikan kebebasan kepada bank-bank untuk menetapkan suku bunga, baik kredit maupun tabungan dan deposito. Tujuannya adalah untuk membangun sistem perbankan yang sehat, efisien, dan tangguh. Kebijakan selanjutnya merupakan titik balik dari kebijakan pemerintah dalam penertiban perbankan tahun 1971-1972 dengan dikeluarkannya Paket Kebijakan Deregulasi Perbankan 1988 (Pakto 88), yaitu kemudahan pemberian ijin usaha bank baru, ijin pembukaan kantor cabang, dan pendirian Bank Perkreditan Rakyat (BPR).
Pada periode selanjutnya, perbankan nasional mulai menghadapi masalah meningkatnya kredit macet. Hal ini sejalan dengan meningkatnya pemberian kredit oleh perbankan terutama untuk sektor properti. Keadaan ekonomi mulai memanas dan tingkat inflasi mulai bergerak naik.
Ketika krisis moneter 1997 melanda, struktur perbankan Indonesia porak poranda. Pada tanggal 1 November 1997, dikeluarkan kebijakan pemerintah yang melikuidasi 16 bank swasta. Hal ini mengakibatkan kepanikan di masyarakat. Oleh karena itu, Bank Indonesia turun mengatasi keadaan dengan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) atas dasar kebijakan yang ditetapkan pemerintah. Selain itu, berbagai tindakan restrukturisasi dijalankan oleh Bank Indonesia bersama pemerintah.
KEBIJAKAN
EKONOMI YANG DIBUAT PADA MASA ORDE BARU
1. Dikeluarkannya beberapa peraturan pada 3 oktober
1966
Kebijakan ini antara lain :
·
Menerapkan anggaran belanja berimbang (balanced
budget). Fungsinya adalah untuk mengurangi salah satu penyebab terjadinya
inflasi
·
Menerapkan kebijakan untuk mengekang proses ekspansi
kredit bagi usaha-usaha sector produktif, seperti sector pangan, ekspor,
prasarana dan industry
·
Menerapkan kebijakan penundaan pembayaran utang luar
negeri (re-scheduling), serta berusaha untuk mendapatkan pembiayaan atau kredit
luar negeri baru
·
Menerapkan kebijakan penanaman modal asing untuk
membuka kesempatan bagi investor luar negeri untuk turut serta dalam pasar dan
perekonomian Indonesia
2. Dikeluarkannya peraturan 10 februari 1967 tentang
persoalan harga dan tariff
3. Dikeluarkannya peraturan 28 juli 1967. Kebijakan
ini dikeluarkan untuk memberikan stimulasi kepada para pengusaha agar mau
menyerahkan sebagian dari hasil usahanya untuk sektor pajak dan ekspor
Indonesia
4. Menerapkan UU no.1 tahun 1967 tentang penanaman
modal asing
5. Mengesahkan dan menerapkan RUU APBN melalui UU
no.13 tahun 1967
·
Soeharto juga menerapkan kebijakan ekonomi yang
berorientasi luar negeri, yaitu dengan melakukan permintaan pinjaman dari luar
negeri
·
Indonesia juga tergabung ke dalam institusi ekonomi
internasional, seperti International Bank for Rescontruction and Development
(IBRD), International Monetary Fund (IMF), International Development Agency
(IDA) dan Asian Development Bank (ADB)
-
PADA
MASA KRISIS
Pada
masa itu mulai
bermunculan bank baru, dan dalam mendirikan bank terdapat aturan yang harus
ditaati diantarnya aturan pendirian bank :
- Bank dan lembaga keuangan bukan bank bisa menerbitkan sertifikat deposito dan tanpa perlu izin.
- Semua bank dapat meyelenggarakan tabanas dan tabungan lain.
Paket 28 Pebruari 1991, berisi tentang : Penyempurnaan paket sebelumnya menuju penyelenggaraan lembaga keuangan dengan prinsip kehati-hatian, sehingga dapat tetap mempertahankan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga keuangan.
UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
Paket 29 Mei 1993 yang berisi tentang penyempurnaan aturan kesehatan bank meliputi :
- CAR (Capital Adequacy Ratio)
- Batas Maksimum Pemberian Kredit
- Kredit Usaha Kecil
- Pembentukan cadangan piutang
- Loan to Deposit Ratio
- Bank dan lembaga keuangan bukan bank bisa menerbitkan sertifikat deposito dan tanpa perlu izin.
- Semua bank dapat meyelenggarakan tabanas dan tabungan lain.
Paket 28 Pebruari 1991, berisi tentang : Penyempurnaan paket sebelumnya menuju penyelenggaraan lembaga keuangan dengan prinsip kehati-hatian, sehingga dapat tetap mempertahankan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga keuangan.
UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
Paket 29 Mei 1993 yang berisi tentang penyempurnaan aturan kesehatan bank meliputi :
- CAR (Capital Adequacy Ratio)
- Batas Maksimum Pemberian Kredit
- Kredit Usaha Kecil
- Pembentukan cadangan piutang
- Loan to Deposit Ratio
Pada
periode 1992-1993,perbankan nasional mulai
menghadapi permasalahan yaitu meningkatnya kredit macet yang menimbulkan beban
kerugian pada bank dan berdampak keengganan bank untuk melakukan ekspansi
kredit. BI menetapkan suatu program khusus untuk menangani kredit macet dan
membentuk Forum Kerjasama dari Gubernur BI, Menteri Keuangan, Kehakiman, Jaksa
Agung, Menteri/Ketua Badan Pertahanan Nasional, dan Ketua Badan Penyelesaian
Piutang Negara. Selain kredit macet, yang menjadi penyebab keengganan bank
dalam melakukan ekspansi kredit adalah karena ketatnya ketentuan dalam Pakfeb
1991 yang membebani perbankan. Hal itu ditakutkan akan mengganggu upaya untuk
mendorong pertumbuhan ekonomi.
Maka, dikeluarkanlah Pakmei
1993 yang melonggarkan ketentuan kehati-hatian yang sebelumnya ditetapkan dalam
Pakfeb 1991. Berikutnya, sejak 1994 perekonomian Indonesia mengalami booming
economy dengan sektor properti sebagai pilihan utama. Keadaan itu menjadi daya
tarik bagi investor asing.Pakmei 1993 ternyata memberikan hasil pertumbuhan
kredit perbankan dalam waktu yang sangat singkat dan melewati tingkat yang
dapat memberikan tekanan berat pada upaya pengendalian moneter. Kredit
perbankan dalam jumlah besar mengalir deras ke berbagai sektor usaha, terutama
properti, meski BI telah berusaha membatasi. Keadaan ekonomi
mulai memanas dan inflasi
meningkat.
Nilai kurs sejak tahun 1990 – 1997.
Nilai kurs sejak tahun 1990 – 1997.
Sejak tahun 1990 sampai
dengan minggu ke dua Juli 1997 nilai tukar rupiah cukup stabil dan wajar. Pada
akhir Desember 1990 kurs antara rupiah dengan dolar Amerika Serikat (kurs
tengah) adalah Rp 1.901,00 dan kurs ini mengalami penyesuaian menjadi Rp
2.383,00 pada akhir tahun 1996. Ketika krisis moneter 1997 melanda, struktur perbankan
Indonesia porak poranda. Pada tanggal 1 November 1997, dikeluarkan kebijakan
pemerintah yang melikuidasi 16 bank swasta. Hal ini mengakibatkan kepanikan di
masyarakat. Oleh karena itu, Bank Indonesia turun mengatasi keadaan dengan
Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) atas dasar kebijakan yang ditetapkan
pemerintah. Selain itu, berbagai tindakan restrukturisasi dijalankan oleh Bank
Indonesia bersama pemerintah. kestabilan nilai kurs rupiah berlanjut sampai dengan
11 Juli 1997 dimana nilai kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat Rp.
2.440,00. Namun dalam minggu kedua Juli 1977 gonjangan terhadap nilai kurs
rupiah mulai dirasakan, yang bermula dari jatuhnya mata Uang Bath Thailand.
Pemerintah pada tanggal 14 Agustus 1997 melepas bata-batas kurs intervensi.
Dengan pelepasan
batas-batas kurs intervensi, pemerintah meninggalkan sistem tukar upiah yang
mengambang terkendali menjadi sistem nilai tukar mengambang murni sehingga
nilai tukar kurs rupiah ditentukan sepenuhnya oleh kekuatan pasar. Pada masa krisis ini juga meyebabkan penarikan
simpanan di bank semakin menjadi-jadi.
Kepanikan masyarakat tersebut menyebabkan tekanan yang
berat terhadap posisi likuiditas perbankan. Beberapa bank yang sebelumnya
tergolong sehat dan merupakan pemasok dana juga terkena imbas sehingga berubah
posisinya menjadi peminjam dana di pasar uang antar bank. Akibatnya, hampir
seluruh bank umum nasional menghadapi kesulitan likuiditas dalam jumlah besar
sehingga menyebabkan sebagian besar bank melanggar ketentuan Giro Wajib Minimum
dan mengalami saldo negatif atas rekening gironya di BI. Untuk mengatasi
kesulitan itu, dana pinjaman antar bank menawarkan bunga yang sangat
tinggi antara 40%-100% pa. Bahkan di level ini pun tidak jarang sangat sulit
untuk memperoleh dana yang cukup.
Guna segera memulihkan kepercayaan terhadap perbankan,
pada akhir Januari 1998 Pemerintah mengambil kebijakan memberikan jaminan
pembayaran atas kewajiban bank-bank umum kepada deposan dan kreditur dalam dan
luar negeri (blanket guaranty) dan pembentukan BPPN untuk melakukan langkah
penyehatan bank-bank yang bermasalah. Namun, kedua kebijakan pemerintah
tersebut belum memadai. Krisis perbankan belum mereda, bahkan telah meluas dan
mengarah pada lumpuhnya sistem perbankan nasional. Fenomena kesulitan
likuiditas yang menyebabkan pelanggaran GWM dan bahkan saldo negatif pada
rekening giro di BI itu semakin meluas di kalangan perbankan.
Dalam keadaan kesulitan likuiditas bank-bank yang
bersifat sistemik ini Pemerintah dihadapkan pada 2 (dua) pilihan kebijakan,
yaitu membiarkan bank-bank dikenakan sanksi stop kliring sehingga berguguran
secara massal dan dalam tempo singkat; atau melakukan tindakan penyelamatan.
Kebijakan yang dipilih – sesuai kesepakatan Pemerintah dan IMF – adalah
melakukan penyelamatan karena dalam suasana krisis multi dimensi seperti itu
kebijakan untuk menutup bank bukanlah opsi yang realistis.
Statistik menunjukkan bahwa pangsa bank-bank yang
seharusnya dikenakan sanksi stop kliring mencapai 55,2% dari total seluruh
industri perbankan. Eksposure kewajiban yang harus dibayar sangat besar
mencapai sekitar Rp 293,1 triliun atau Rp 395 triliun (dengan memasukkan BEII,
BCA dan BPD) dengan jumlah rekening 12,6 juta dan kantor sejumlah 2220. Efek
domino yang dapat terjadi adalah apabila bank-bank itu di-stop kliring, tagihan
antar bank sekitar Rp 29,4 triliun tak akan terbayar yang pada gilirannya akan
menimbulkan dampak negatif bagi bank-bank pemilik tagihan. Di sektor riil, stop
kliring itu akan memutus sebagian besar sistem pembayaran sehingga lalu lintas
perdagangan akan terhenti. Sementara itu, biaya yang harus dibayar apabila opsi
penutupan bank diperkirakan mencapai Rp 395,0 trilyun dan belum memperhitungkan
ongkos gejolak sosial yang timbul sebagai akibat kepanikan masyarakat. Penting
untuk dicatat bahwa situasi yang dihadapi bank-bank pada waktu itu adalah
illiquid, bukan insolvent sehingga mencerminkan bahwa dalam kondisi rush, bank
yang sehat pun tidak akan mampu mengatasi kesulitan likuiditas tanpa bantuan
Pemerintah.
-
PADA
MASA PASCA KRISIS